This page is under construction
1. Kelalaian Berujung Perpisahan Abadi
1. Kelalaian Berujung Perpisahan Abadi
“DORR”
Suara itu mengejutkanku dari belakang tubuhku. Aku yang sedari tadi fokus
memainkan gadgetku sontak terkejut sampai hampir saja gadget yang sedari tadi
ku pegang terlepas dari genggamanku. “Ih apaan sih pake acara ngagetin segala!
Gk lucu tau!” geramku kesal pada sahabatku itu. Ya dia memang sahabatku,
namanya Rumi. Kami sudah bersahabat sejak kami kecil. Ayah kami adalah seorang
tentara yang kebetulan sering di tugaskan bersama. Kau tau ? Sebagai seorang
tentara, ayah kami sangat jarang pulang ke rumah. Sehingga kami terlatih untuk
mandiri. Tak heran aku dan Rumi sering kali bepergian bersama tanpa didampingi
orang tua. “Andi, jangan maen gadget mulu napa !. Makan yu,makanannya udah siap
tuh” ajak nya seraya menarik sebelah lenganku yang sedang memegang gadget.”Ya
deh ayo” kataku setuju.
Aku
yang sedari tadi lahap memakan santapanku, langsung tertegun heran melihat
sahabatku yang sedari tadi ceria tiba-tiba berubah menjadi diam dan murung.
Dari tatapan matanya, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia ucapkan namun ia
enggan untuk mengatakannya. “Kamu kenapa sih Rum? ko jadi diem gitu? cerita
dong!” tanyaku heran. Jawab Rumi “Hmm gini loh Di, hmm”. “Kamu kenapa sih?
jangan bikin bingung dong! Coba kamu ceritain pelan-pelan! Kataku memotong
pembicaraannya. Andi menjelaskan “Hmm gini loh Di. Minggu depan aku harus sudah
pindah ke Kalimantan. Soalnya, ayahku dipindahkan tugas ke Kalimantan dan
menetap disana. Aku juga harus ikut pindah Di ”. “Uhuk..uhuk..air..uhuk” aku
yang sedari tadi makan langsung tersedak mendengar penjelasan sahabatku itu.
“Apa? Kamu mau pindah ke Kalimantan. Gk bisa,pokoknya gk bisa. Kamu gk boleh
pindah. Titik.” Pintaku mencoba mencegahnya. “Gk bisa Di, aku harus tetep
pindah. Aku udah coba nolak tapi gk bisa” jelas Rumi. “Kamu kan bisa tinggal
sama aku !” pintaku. Tetep gk bisa Andi. Gini deh Di gimana kalo sebelum aku
pindah, kita main yu! Ya itung-itung acara perpisahan gitu”. Usul Rumi. “Hmm ya
udah. Tapi kemana ? tanyaku pada Rumi. “Hmm itu sih rahasia. Pokoknya Sabtu
nanti pagi-pagi kamu harus udah siap ya. Kamu sedia aja jaket, obat, makanan,
ya pokonya persiapan deh” jelas Rumi. “Hmm okee. Sabtu pagi ya!”. Kataku
setuju. “okee” tambah Rumi.
Akhirnya
hari yg di tunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah siap dengan semua perlengkapanku.
Mulai dari jaket, obat, dan gadget yang tak lupa ku bawa yang rencananya akan
aku gunakan untuk mengambil foto terakhir sebelum Rumi pergi. “Tidit”.
Terdengar suara klakson yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku sempat heran.
Siapa pagi-pagi begini sudah bertamu kerumahku. Terlebih ibu sedang tak ada di
rumah. “Andi!” panggil suara itu. “Ya Tuhan! Itu kan Rumi. Sejak kapan dia bisa
naik motor ?” tanyaku dalam hati. “Rumi! Sejak kapan kamu bisa naik motor?”
tanyaku heran. Rumi hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. “Kamu mau ngajak
aku kemana sih? Terus kita pergi naik apa?” tanyaku lagi. “Nih” jawab Rumi
sambil menunjuk motor yang sedari tadi ia naiki. “Hah? Kamu kan belum punya
SIM. Ngga aku mau pergi kalo kaya gini ceritanya” tolakku. “Yaelah Di, tenang
aja kali. Gk ada SIM juga aku udah jago ko. Denger ya, kamu kan sahabat aku
dari kecil. Masa kamu gk percaya sama aku. Lagian ini kan acara perpisahan kita
Di. Jangan nolak dong! Sahabat macam apa kamu.” kata Rumi mencoba meyakinkanku.
Dengan terpaksa aku menyetujui ajakan sahabatku itu sambil menaiki sepeda
motornya “Yaudah. Terus ini mana helmnya?”. Jawab Rumi “Yaelah Di gk usah pake
helm jg gpp ko. Lagian gk ada polisi juga”. “Wah parah kamu Mi. Helm tuh penting
tau, helm itu gunanya buat melindungi kepala kita kalo lagi berkendara pakai
sepeda motor. Gk cuma dipake kalo ada polisi aja. Terus kalo..” belum selesai
aku berkata,. Rumi sudah melajukan sepeda motornya dengen kecepatan yang cukup
membuatku takut. Rumi mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 60 km/jam.
“Rumi,pelan-pelan napa! Aku masih pengen idup tau” protesku kesal kepadanya.
“Udah kamu tenang aja! Percaya sama aku!” jawab Rumi. Akhirnya kita pun
melanjutkan perjalanan tanpa aku kemana ia akan membawaku.
Dijalan,
aku melihat pemandangan yang cukup indah. Aku melihat hamparan sawah, gunung
yang tinggi menjulang, dan pohon-pohon yang tumbuh dngan lebatnya. “Mi,
sebenarnya kamu mau bawa aku kemana sih” tanyaku disela-sela perjalanan yang
cukup membuatku lelah. “Hmm liat aja ntar! Udah deket ko” jelas Rumi.aku hanya
terdiam di jok belakang sepeda motor berwarna merah ini. Rasanya sudah cukup
jauh Rumi membawa ku. Mungkin sudah 2 jam aku diperjalanan. Aku tetap sabar
menunggu sampai kita sampai ditujuan. Selama diperjalanan, Rumi tidak berkata
apapun. Hanya senandung kecil yang kudengar dari mulutnya.
“Nah,
kita sudah sampai” kata Rumi. Sepertinya, kita sedeang berada di tempat yang
tinggi. Jauh dari kota dan kebisingan, yang kudengar hanya lah suara tiupan
angin dan siulan burung-burung yang merdu mengisi kesunyian yang ada diantara
kita. “Andi ?” panggil Rumi. “Ya” jawabku. “Di, rasanya aku enggan sekali
berpisah denganmu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Sampai kapan pun aku tak akan
pernah melupakanmu Di. Aku sudah menganggapmu saudaraku sendiri. Kau selalu ada
untukku disaat aku senang mau pun sedih. Berjanjilah kita akan selalu
bersahabat. Okee ?” penjelasan Rumi membuatku sedih. “iya Rum, kamu akan selalu
jadi sahabatku”kataku. Kata Rumi lagi “Andi, kalau seandainya kamu tak akan
bertemu aku lagi, apakah kau akan baik-baik saja?”. “Huss jangan bilang gitu
dong Rum! Kita pasti akan bertemu lagi ko” jawabku. Rumi hanya tersenyum
mendengar jawabanku. Entah mengapa, aku seperti melihat seberkas cahaya tulus
dari wajahnya. Senyumnya lebih manis dari biasanya. “Kamu adalah sahabat
terbaikku Rum” pujiku didalam hati.
Udara
sudah semakin dingin. Awan mendung pun sudah muncul dari persembunyiannya.
Menutupi sang mentari yang memberikan kami kehangatan. Entah mengapa aku merasa
ini adalah pertemuan terakhirku dengan Rumi. “Andi, pulang yu! Keburu hujan
nih.” Ajak Rumi. “Ayo” kataku setuju. Benar saja, tak berapa lama hujan turun
dengan derasnya. Kami pun bergegas menaiki sepeda motor yang cepat melaju
menerosbos derasnya air hujan yang turun. Lagi-lagi Rumi melajukan sepeda motor
nya dengan kecepatan yang membuatku
sangat ketakutan. Bagaimana tidak, ia mengendarai motor nya dengan kecepatan
110 km/jam. “Rumi tenang! jangan cepat-cepat. Kita bisa berteduh dulu sebentar”
pintaku panik. “Tanggung Di, gk apa apa tenang aja”. Tak lama setelah itu, dari
arah berlawanan, datang sebuah bus dengan kecepatan yang tak kalah cepatnya
dengan sepeda motor kami. “CIIITTT…DUUARR..BRUUK” kami bertabrakan. Aku
terpelanting jauh dari sepeda motor kami. Entah mengapa tiba-tiba semua nya
hitam buyar. Aku pun tidak sadarkan diri.
Kepalaku
terasa sakit saatku buka kedua bola mataku. Aku tak tau dimana sekarang aku
berada. Aku sangat heran karna entah mengapa mama sudah ada di sebelahku. “Ma?
Aku sekarang ada dimana ?” tanyaku. “Kamu ada dirumas sakit na, tadi kamu
kecelakaan waktu pulang dari acara mu sama Rumi”jawab mama. “Mamah ko tau aku
kecelakaan?” tanyaku lagi. “Tadi pihak polisi telpon mamah pake handphone kamu”
jawab mama lagi. Seketika aku ingat kepada Rumi “Rumi dimana ma?” mamah hanya
diam tak menjawab. Aku pun memaksa mama untuk menjawab pertanyaan ku. Akhirnya
ibu pun mau bercerita “Andi, Rumi telah meninggal dunia. Kepalanya
terbentur ke aspal, akibat ia tidak
memakai helm, kepalanya bocor, untung saja nyawamu bisa terselamatakan ”. Kurasakan
air mataku jatuh dari kedua kelopak mataku. Aku tak percaya, pertemuanku tadi
adalah pertemuan terakhirku dengan Rumi.
Disinilah
aku duduk termenung sendiri. Membacakan ayat-ayat surat Yasin agar sahabatku
tenang disana. aku teringat saat-saat indah bersamanya. Canda, tawa, dan duka
pernah kita lalui bersama. “Rum, sampai kapan pun kamu akan selalu jadi sahabat
terbaikku. Aku percaya, suatu saat nanti kita akan bertemu kembali di keabadian.
Aku dan kamu akan selalu bersama selamanya tanpa ada yang bisa memisahkan.
Selamat jalan sahabatku. Kau akan selalu ada dihatiku.
2. Kamu dan Helm
Hasil yang mengejutkan ditemukan oleh Dede dari pengamatan yang dilakukannya. Mayoritas murid di kelasnya diantar-jemput dengan motor. Total 30 dari 41 siswa menggunakan motor. Dari 30 siswa yang diantar-jemput dengan motor hanya 2 anak yang selalu mengenakan helm. Kondisi ini membuat Dede tergerak untuk mengetahui lebih lanjut alasan mengapa banyak siswa tidak mengenakan helm.. Setelah berbincang lebih jauh dengan murid-muridnya. Dede mengetahui bahwa meski mayoritas mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah tetapi mereka tetap memiliki kemampuan untuk membeli helm. Kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya helm bagi anak-anak mereka menjadi faktor utama mengapa murid-muridnya tidak mengenakan helm. Orang tua menganggap helm bukanlah prioritas pertama untuk dibeli.
Bel tanda pulang sekolah pun
berbunyi, disusul suara riuh dari dalam kelas. Setelah
selesai melakukan pembiasaan,
para murid berhamburan keluar kelas. Seorang anak lelaki
berlari dari arah utara dan
menghampiri temannya yang baru saja keluar kelas.
“Eh, Rendra mau pulang?”
“Iya nih, Cha. Mau bareng?”
Rendra mengikuti Acha dan berjalan di sebalah kanan.
Acha berhenti berjalan lalu
menatap Rendra, “Lho, memangnya kamu pulang pakai apa?”
Rendra, yang ditanya hanya
tertawa.
“Jawab Ren! Bukan ketawa.” Acha
menghentakkan kakinya dan terus mendesak Rendra
untuk menjawab pertanyaannya. “Oke,
aku jawab. Aku pulang pakai motor.”
“Kok pakai motor sih? Kamu ‘kan
masih kelas 9. Kamu udah ngelanggar lalu lintas! Nanti
kalau ada apa- apa gimana?”
“Ya ampun Acha, aku udah bisa
ngendarain motor. Jadi tenang aja, aku pasti gak akan apaapa.”
Rendra memegang bahu Acha untuk
meyakinkan Acha bahwa tidak akan terjadi apaapa.
“Gak apa- apa gimana? Punya SIM
aja belum. Boro- boro SIM, KTP aja kamu belum
punya.” Raut wajah khawatir terpatri
jelas di wajah Acha. Khawatir terjadi apa- apa pada
Rendra. Memang ini bukan pertama
kalinya Acha mengetahui Rendra mengendarai motor,
hanya entah mengapa hatinya tidak
tenang mengetahui hari ini Rendra akan pulang dengan
motornya.
Acha menghela napas berat, “Ya
udah aku pulang, papa udah nunggu di depan
sekolah. Kamu hati- hati ya.”
Rendra menatap punggung Acha,
sampai menghilang di ujung koridor sekolah. Dia
kenapa? Biasanya
aku ngendarain motor dia biasa aja.
Rendra bingung, tadi pagi mamanya
melarang dia untuk berangkat memakai motor.
Sekarang, Acha juga tidak suka
Rendra mengendarai motor. “Masa bodo dengan
Spongebob,” gumam Rendra sembari
mengacak rambutnya. Rendra berjalan menuju jalan
yang ada di belakang sekolah,
tempatnya memarkirkan motornya.
Rendra menaiki motornya, tiba-
tiba ada yang meninju bahunya. “AW!” Karena
kesakitan Rendra memegangi
bahunya sembari meringis. Dia menengok ke kanan, dan
terlihatlah wajah konyol Devan
yang sedang menatapnya dengan seringai khasnya. “Apaan
sih?” gerutu Rendra, tak lupa
tatapan tajamnya.
“Mau kemana?” Pertanyaan bodoh
itu terlontar dari bibir Devan yang masih setia dengan
serigainya. Punya temen aneh
banget, apa salah aku Tuhan. “Ya pikir aja sendiri.” Rendra
mendengus, lalu menstater
motornya. “Dih, santai aja bos. Cuma ya tau lah.” Rendra tau
maksud Devan apa. Dengan gaya
tengil Devan menaiki motor Rendra dan menepuk bahu
Rendra, “Ke Perumahan Permata,
Pak.”
“Dikira tukang ojek.” Rendra
mulai menggas motornya untuk melaju. “Lho, ga pake helm
Ren?” “Deket ini, ga akan
dirazia.” Sahut Rendra tenang.
“Bukan masalah jauh deket Ren,
tapi keselamatan. Masih mau lulus UN nih.”
“Tenang aja, sama Rendra akan
aman.” Rendra pun memacu kendaraannya lebih cepat.
TING! Suara notifikasi pesan
handphone Rendra berbunyi. Ah paling operator pulsa, ga
penting. Saat sedang
fokus memacu kecepatan lebih cepat, tiba- tiba ada mobil yang berjalan
dari arah timur. “Rendra! Itu
mobil! Rem buruan!” Teriak Devan panik dan menepuk- nepuk
punggung Rendra. “Remnya blong,
Dev! Ini gimana?” Rendra yang tak kalah panik dari
Devan menarik tuas rem dengan
cepat. Sementara Devan membaca doa. Seketika Devan
berteriak, “Tabrakin motornya ke
pohon di sebelah kiri!” Devan memukul- mukul punggung
Rendra dan menunjuk pohon di
depan yang ada di sebelah kirinya. Rendra pun menabrakan
motornya ke pohon itu. BRAK!
Suara hantaman keras terdengan seantero jalan tersebut.
Asap mesin mengepul dan menyebar
liar ke segala arah.
UHUK! UHUK!
“Aduh Ren, pusing banget,” racau
Devan tidak jelas sembari jalan sempoyongan. Sadar tak
ada sahutan Devan segera menoleh
pada Rendra. Rendra yang sudah tergeletak tak berdaya
dengan darah yang tak henti
mengucur di pelipisnya. Devan melihat ke sekitar, sepi. Jalan ini
sepi, tidak ada yang lewat. Lalu
bagaimana dengan Rendra? Devan segera mengangkat
Rendra dengan lemah. Keadaan
tubuh yang luka baret dimana- mana dan juga asmanya
kambuh. Devan mengangkat motor
Rendra susah payah dan menstaternya, masa bodo jika
nanti motor itu meledak karena
mesinnya sudah berasap. Devan mengangkat Rendra ke
motor dengan susah payah, lalu
membawanya ke rumah sakit terdekat.
Devan mengangkat Devan dan
berteriak panic memanggil suster. Suster datang
dengan tergopoh- gopoh sembari
membawa brankar. Devan segera merebahkan Rendra ke
brankar. Setelah Rendra masuk
UGD, Devan segera menelepon Acha dan Ibu Rendra.
Setelah menelepon Acha dan Ibu
Rendra Devan menghempaskan dirinya ke kursi ruang
tuggu rumah sakit. Tak lama Acha
datang dengan keadaan berantakan demekian juga Ibu
Rendra. Acha yang masih
menggunakan seragam sekolah yang tadi dia pakai dan Ibu Rendra
yang masih menggunakan pakaian
kantornya.
“Rendra kenapa Dev?” Tanya Ibu
Rendra khawatir. “Tadi kami mau pulang, Bu. Tapi di
tengah jalan rem motor Rendra
blong, karena tidak mau menabrak mobil di depan jadi
Rendra membelokan motornya ke
pohon di sebelah kiri. Dan ya, kita menabrak pohon. Aku
baik- baik saja, tapi kepala
Rendra luka karena tidak memakai helm.”
Mendengar penjelasan Devan, Acha
meluruh ke lantai dan terisak. “Tadi aku sudah
punya firasat buruk, waktu dia
bilang dia pulang pakai motor. Dan ternyata itu, benar.” Isak
tangis Acha pun semakin
terdengar. Ibu Rendra yang melihat Acha, segera menolong Acha
untuk berdiri lagi. Lalu
memapahnya ke kursi tunggu rumah sakit. Sama dengan keadaan
Acha, Ibu Rendra sangat kacau.
30 menit kemudian, pintu UGD
terbuka dan munculah seorang dokter paruh baya.
“Keluarga Rendra Wijaya?” Tanya
dokter itu sembari melihat ke arah Ibu Rendra. “Saya
ibunya, dok. Bagaimana
keadaannya?”
“Untung saja cepat dibawa ke
sini. Keadaannya mulai membaik. Benturan di kepalanya
membuatnya sering merasakan
pusing. APa tadi dia tidak memakai helm?”
“Tadi Rendra dan saya tidak
memakai helm, dok.”
“Lain kali, jangan memberikan
izin mengendarai motor. Selain melanggar aturan lalu lintas,
juga membahayakan keselamatan.
Rendra sudah terkena risikonya.” Jelas dokter itu. “Boleh
saya masuk?” Tanya Ibu Rendra.
Dokter mengangguk lalu mereka bertiga memasuki
ruangan.
Seminggu kemudian Rendra
diperbolehkan pulang dan menjalani terapi. Acha selalu
menemani Rendra untuk terapi.
“Ren, kamu udah cek handphone
kamu?” Rendra mengernyit lalu mengecek handphonenya.
Ada satu pesan masuk dari Acha,
pada tanggal kecelakaannya.
Rendra, jangan
lupa pakai helm. Aku punya firasat buruk.
“Astaga, kenapa kemarin aku
mengabaikan pesan dari kamu.” Rendra menghela napas berat.
“Sudahlah, yang lalu biarlah
berlalu.” Acha mengusap bahu Rendra menenangkan. Rendra
hanya memejamkan mata dan
mengistirahatkan kepalanya di kepala kursi.
“Karena helm itu penting, Ren…”
Acha menggumam pelan.
“Kamu dan helm.”
“Aku, Kamu dan helm.” Sahut
Rendra tiba- tiba membuat Acha tersentak dan semburat
merah menjalar di pipinya.
Seketika Rendra tertawa bahagia.
Sebulan kemudian…
“Ren, pulang naik apa?” Tanya
Devan sembari berjalan ke gerbang sekolah. “Naik angkot.
Selain terhindar dari kecelakaan
lalu lintas, kita juga harus ikut berpartisipasi menaiki
fasilitas kota. Buat apa ada
angkot kalau kita menaiki motor? Hitung- hitung irit dan
mengurangi kemacetan.”
Devan berhenti berjalan dan
melongo menatap Rendra, “Wow! Rendra nyalin kata- kata dari
mana?”
“Udah ah. Yuk pulang!” Rendra
menarik lengan Devan dan segera menaiki angkot yang
berhenti di depan sekolah mereka.
3. Arisan Helm-sebuah revolusi mental dari Bandung
Bermula
dari tugas untuk merekap kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di SDN Cihaurgeulis 1 Bandung, Dede Rohanih (52 tahun), guru yang sudah mengabdikan hidupnya
selama 33 tahun di sekolah ini mengetahui bahwa di sekolahnya ada program
tentang keselamatan berlalu lintas bagi siswa yang difasilitasi oleh Save the
Children bersama SOMPO Holding melalui sebuah proyek yang dinamai dengan SELAMAT.
Walaupun Dede tidak terpilih sebagai guru yang terlibat langsung
dalam program, namun
karena kepedulian terhadap sekolah dan muridnya dia mulai
mencermati dengan seksama aktivitas program.
Faktor
keselamatan berkendara bagi siswa yang diantar-jemput dengan motor menjadi hal
yang menarik perhatiannya. Berdasarkan
ketertarikannya ini, beliau mulai melakukan pengamatan kepada siswa SDN
Cihaurgeulis 1. Sebagai wali kelas VI B SDN Ciharguelis, Dede memulai
pengawasannya di kelas VI B yang diasuhnya tersebut.
Hasil yang mengejutkan ditemukan oleh Dede dari pengamatan yang dilakukannya. Mayoritas murid di kelasnya diantar-jemput dengan motor. Total 30 dari 41 siswa menggunakan motor. Dari 30 siswa yang diantar-jemput dengan motor hanya 2 anak yang selalu mengenakan helm. Kondisi ini membuat Dede tergerak untuk mengetahui lebih lanjut alasan mengapa banyak siswa tidak mengenakan helm.. Setelah berbincang lebih jauh dengan murid-muridnya. Dede mengetahui bahwa meski mayoritas mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah tetapi mereka tetap memiliki kemampuan untuk membeli helm. Kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya helm bagi anak-anak mereka menjadi faktor utama mengapa murid-muridnya tidak mengenakan helm. Orang tua menganggap helm bukanlah prioritas pertama untuk dibeli.
Pantang
menyerah menenun asa
Menggugah kesadaran orangtua
bukanlah hal mudah, namun tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan. Terinspirasi
dari program “Menabung untuk Qurban’
yang sudah berlangsung beberapa tahun di sekolahnya. Dede mencari cara agar
setiap muridnya yang dibonceng sepeda motor memiliki helm sendiri. Dede mengajak murid-muridnya
menabung untuk membeli helm. Setiap harinya mereka menyisihkan Rp.2000 untuk
ditabung. Gerakan ini ternyata tidak terlalu berhasil dan kurang disukai oleh murid-muridnya.
Alasan utamanya adalah membutuhkan waktu yang lama
untuk menabung.
Namun
Dede tidak lantas putus asa. Didasari
oleh naluri keibuan, sampailah dia pada pikiran untuk membuat “Arisan Helm”.
Ide ini dia utarakan kepada murid-muridnya dan ternyata disambut dengan
antusias, walau ada 5 siswa yang tidak mau turut serta.
Arisan
yang dirancang ini memiliki target, satu hari-satu helm- satu siswa. Setelah memperkirakan harga sebuah helm ukuran anak-anak senilai Rp 60.000 per buah, maka jika ada 25 anak yang ikut arisan dan per harinya
masing-masing anak Rp 2.000, maka hanya terkumpul
uang Rp 50.000 dan tentu saja masih kurang untuk membeli sebuah helm. Mencari akal menambah jumlah murid yang ikut arisan, Bu Dede juga
menawarkan kepada siswa dari kelas lain dan akhirnya berhasil mengumpulkan 30 siswa untuk ikut arisan helm ini.
Namun
ternyata masih ada masalah lain yang muncul yaitu
ukuran helm yang berbeda-beda dan harga diluar perkiraan. Ada siswa yang cukup dengan ukuran helm seharga
Rp.60.000,-, namun ada juga siswa yang membutuhkan helm dengan ukuran helm yang
seharga Rp.75.000,-.Harga yang lebih mahal dari perkiraannya.
Kembali
mengandalkan naluri seorang ibu, Dede mensiasati kekurangan uang ini dengan
tidak membeli helm per buah per hari, melainkan membeli dalam jumlah banyak. Jika belanja dalam jumlah banyak, maka harga per buah
bisa dikurangi dan juga menghemat biaya transportasi untuk membeli. Selain
dengan cara ini, Ibu Dede juga menjelaskan kepada penjual helm, bahwa helm-helm
yang dibelinya ini bukan untuk dijual lagi atau dipakai sendiri, tetapi untuk murid-muridnya
yang mengikuti arisan agar bisa memiliki helm. Kedua cara ini telah berhasil
mengatasi kekurangan uang untuk membeli helm dengan ukuran yang dibutuhkan murid-muridnya.
Oase gotong
royong mencari solusi
Dimulai
dari tanggal 2 Oktober 2015, arisan helm ini hingga tanggal 4 November 2015
sudah bisa memberikan 16 buah helm kepada 16 orang siswa. Siswa yang
mendapatkan giliran menerima helm ditentukan dengan cara diundi. Anak-anak nampak senang mengikuti kegiatan ini karena
seperti menerima hadiah, terlebih lagi ketika pembagian tahap I dilakukan pada
saat upacara bendera.
Gagasan
arisan helm ini, juga Dede sampaikan kepada orang tua siswa pada
saat pertemuan komite kelas dan mendapatkan sambutan positif. Beberapa orang
tua dapat memahami mengapa anaknya dalam satu bulan terakhir
ini meminta uang jajan agak lebih banyak, namun
yang terpenting adalah orangtua menyadari pentingnya helm untuk keselamatan
berlalu lintas.
Arisan
helm ini juga telah menggugah hati siswa yang lain untuk juga membeli helm,
walaupun tidak diantar jemput dari dan ke sekolah menggunakan sepeda motor,
namun mereka akan mengenakan helm bila bepergian dengan membonceng sepeda
motor. Selain itu, muncul juga minat dari guru-guru di SDN Cihaurgeulis untuk
mengikuti arisan bila akan dilakukan arisan tahap berikutnya.
Hal
lain yang tidak kalah menariknya dari apa yang sudah dilakukan oleh Dede ini
adalah terbentuknya Tim Monitoring Helm. Beliau mengorganisir siswa-siswa kelas
IV yang sudah mendapatkan pelatihan dari program Save the Children untuk
melakukan pemantauan kepada teman-temannya yang datang dan pulang sekolah
dengan membonceng sepeda motor tetapi tidak mengenakan helm. Mereka melakukan
pencatatan per hari dan melaporkan kepada Dede. dia meminta tim ini untuk tidak
hanya mencatat jumlahnya, tetapi juga untuk mengetahui alasannya mengapa mereka
tidak mengenakan helm. Diketahui, dua alasan utamanya adalah karena lupa dan
malas karena dianggap merepotkan.
Arisan
Helm dan Tim Monitoring Helm yang diprakarsai oleh Dede ini, mendapatkan
dukungan besar dari Ibu Kepala Sekolah SDN Cihaurgeulis dan berharap kegiatan
ini dapat menginspirasi banyak guru, siswa atau bahkan bisa menginspirasi
sekolah-sekolah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Semoga akan muncul Dede-Dede lainnya.
Di Indonesia ribuan anak dan
remaja meninggal dan mengalami luka berat karena kecelakaan lalu lintas,
kebanyakan dari mereka adalah pengguna sepeda motor. Data
kementerian Perhubungan yang disadur dari Buku Materi Sosialisasi Keselamatan
Berlalu Lintas (2012) menyatakan bahwa 8 dari 10
kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Sementara 1 dari 3 pengguna
sepeda motor yang terluka mengalami cidera kepala-gegar otak. Sebagian dari
yang mengalami cidera kepala berat mengakibatkan kerusakan otak yang
permanen dan bahkan kematian.
Penggunaan helm terutama
untuk anak menjadi upaya sederhana namun penting
untuk melindungi anak dari cidera yang lebih parah ketika
mengalami kecelakaan sepeda
motor di jalan.
Arisan helm yang dilakukan
di SDN Cihaurgeulis mungkin terbilang kecil dan sederhana, hanya
dimulai dengan 30 siswa di satu sekolah, namun diharapkan dampaknya bisa
meluas. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, sudah ada 16 siswa yang memiliki
helm dari swadaya mereka sendiri. Mungkin pada saat kita membaca tulisan ini
sudah ada ratusan siswa lainnya yang juga memiliki.
No comments:
Post a Comment