Articles

This page is under construction

1. Kelalaian Berujung Perpisahan Abadi

“DORR” Suara itu mengejutkanku dari belakang tubuhku. Aku yang sedari tadi fokus memainkan gadgetku sontak terkejut sampai hampir saja gadget yang sedari tadi ku pegang terlepas dari genggamanku. “Ih apaan sih pake acara ngagetin segala! Gk lucu tau!” geramku kesal pada sahabatku itu. Ya dia memang sahabatku, namanya Rumi. Kami sudah bersahabat sejak kami kecil. Ayah kami adalah seorang tentara yang kebetulan sering di tugaskan bersama. Kau tau ? Sebagai seorang tentara, ayah kami sangat jarang pulang ke rumah. Sehingga kami terlatih untuk mandiri. Tak heran aku dan Rumi sering kali bepergian bersama tanpa didampingi orang tua. “Andi, jangan maen gadget mulu napa !. Makan yu,makanannya udah siap tuh” ajak nya seraya menarik sebelah lenganku yang sedang memegang gadget.”Ya deh ayo” kataku setuju.

Aku yang sedari tadi lahap memakan santapanku, langsung tertegun heran melihat sahabatku yang sedari tadi ceria tiba-tiba berubah menjadi diam dan murung. Dari tatapan matanya, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia ucapkan namun ia enggan untuk mengatakannya. “Kamu kenapa sih Rum? ko jadi diem gitu? cerita dong!” tanyaku heran. Jawab Rumi “Hmm gini loh Di, hmm”. “Kamu kenapa sih? jangan bikin bingung dong! Coba kamu ceritain pelan-pelan! Kataku memotong pembicaraannya. Andi menjelaskan “Hmm gini loh Di. Minggu depan aku harus sudah pindah ke Kalimantan. Soalnya, ayahku dipindahkan tugas ke Kalimantan dan menetap disana. Aku juga harus ikut pindah Di ”. “Uhuk..uhuk..air..uhuk” aku yang sedari tadi makan langsung tersedak mendengar penjelasan sahabatku itu. “Apa? Kamu mau pindah ke Kalimantan. Gk bisa,pokoknya gk bisa. Kamu gk boleh pindah. Titik.” Pintaku mencoba mencegahnya. “Gk bisa Di, aku harus tetep pindah. Aku udah coba nolak tapi gk bisa” jelas Rumi. “Kamu kan bisa tinggal sama aku !” pintaku. Tetep gk bisa Andi. Gini deh Di gimana kalo sebelum aku pindah, kita main yu! Ya itung-itung acara perpisahan gitu”. Usul Rumi. “Hmm ya udah. Tapi kemana ? tanyaku pada Rumi. “Hmm itu sih rahasia. Pokoknya Sabtu nanti pagi-pagi kamu harus udah siap ya. Kamu sedia aja jaket, obat, makanan, ya pokonya persiapan deh” jelas Rumi. “Hmm okee. Sabtu pagi ya!”. Kataku setuju. “okee” tambah Rumi.

Akhirnya hari yg di tunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah siap dengan semua perlengkapanku. Mulai dari jaket, obat, dan gadget yang tak lupa ku bawa yang rencananya akan aku gunakan untuk mengambil foto terakhir sebelum Rumi pergi. “Tidit”. Terdengar suara klakson yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku sempat heran. Siapa pagi-pagi begini sudah bertamu kerumahku. Terlebih ibu sedang tak ada di rumah. “Andi!” panggil suara itu. “Ya Tuhan! Itu kan Rumi. Sejak kapan dia bisa naik motor ?” tanyaku dalam hati. “Rumi! Sejak kapan kamu bisa naik motor?” tanyaku heran. Rumi hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. “Kamu mau ngajak aku kemana sih? Terus kita pergi naik apa?” tanyaku lagi. “Nih” jawab Rumi sambil menunjuk motor yang sedari tadi ia naiki. “Hah? Kamu kan belum punya SIM. Ngga aku mau pergi kalo kaya gini ceritanya” tolakku. “Yaelah Di, tenang aja kali. Gk ada SIM juga aku udah jago ko. Denger ya, kamu kan sahabat aku dari kecil. Masa kamu gk percaya sama aku. Lagian ini kan acara perpisahan kita Di. Jangan nolak dong! Sahabat macam apa kamu.” kata Rumi mencoba meyakinkanku. Dengan terpaksa aku menyetujui ajakan sahabatku itu sambil menaiki sepeda motornya “Yaudah. Terus ini mana helmnya?”. Jawab Rumi “Yaelah Di gk usah pake helm jg gpp ko. Lagian gk ada polisi juga”. “Wah parah kamu Mi. Helm tuh penting tau, helm itu gunanya buat melindungi kepala kita kalo lagi berkendara pakai sepeda motor. Gk cuma dipake kalo ada polisi aja. Terus kalo..” belum selesai aku berkata,. Rumi sudah melajukan sepeda motornya dengen kecepatan yang cukup membuatku takut. Rumi mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 60 km/jam. “Rumi,pelan-pelan napa! Aku masih pengen idup tau” protesku kesal kepadanya. “Udah kamu tenang aja! Percaya sama aku!” jawab Rumi. Akhirnya kita pun melanjutkan perjalanan tanpa aku kemana ia akan membawaku.

Dijalan, aku melihat pemandangan yang cukup indah. Aku melihat hamparan sawah, gunung yang tinggi menjulang, dan pohon-pohon yang tumbuh dngan lebatnya. “Mi, sebenarnya kamu mau bawa aku kemana sih” tanyaku disela-sela perjalanan yang cukup membuatku lelah. “Hmm liat aja ntar! Udah deket ko” jelas Rumi.aku hanya terdiam di jok belakang sepeda motor berwarna merah ini. Rasanya sudah cukup jauh Rumi membawa ku. Mungkin sudah 2 jam aku diperjalanan. Aku tetap sabar menunggu sampai kita sampai ditujuan. Selama diperjalanan, Rumi tidak berkata apapun. Hanya senandung kecil yang kudengar dari mulutnya.

“Nah, kita sudah sampai” kata Rumi. Sepertinya, kita sedeang berada di tempat yang tinggi. Jauh dari kota dan kebisingan, yang kudengar hanya lah suara tiupan angin dan siulan burung-burung yang merdu mengisi kesunyian yang ada diantara kita. “Andi ?” panggil Rumi. “Ya” jawabku. “Di, rasanya aku enggan sekali berpisah denganmu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Sampai kapan pun aku tak akan pernah melupakanmu Di. Aku sudah menganggapmu saudaraku sendiri. Kau selalu ada untukku disaat aku senang mau pun sedih. Berjanjilah kita akan selalu bersahabat. Okee ?” penjelasan Rumi membuatku sedih. “iya Rum, kamu akan selalu jadi sahabatku”kataku. Kata Rumi lagi “Andi, kalau seandainya kamu tak akan bertemu aku lagi, apakah kau akan baik-baik saja?”. “Huss jangan bilang gitu dong Rum! Kita pasti akan bertemu lagi ko” jawabku. Rumi hanya tersenyum mendengar jawabanku. Entah mengapa, aku seperti melihat seberkas cahaya tulus dari wajahnya. Senyumnya lebih manis dari biasanya. “Kamu adalah sahabat terbaikku Rum” pujiku didalam hati.

Udara sudah semakin dingin. Awan mendung pun sudah muncul dari persembunyiannya. Menutupi sang mentari yang memberikan kami kehangatan. Entah mengapa aku merasa ini adalah pertemuan terakhirku dengan Rumi. “Andi, pulang yu! Keburu hujan nih.” Ajak Rumi. “Ayo” kataku setuju. Benar saja, tak berapa lama hujan turun dengan derasnya. Kami pun bergegas menaiki sepeda motor yang cepat melaju menerosbos derasnya air hujan yang turun. Lagi-lagi Rumi melajukan sepeda motor nya  dengan kecepatan yang membuatku sangat ketakutan. Bagaimana tidak, ia mengendarai motor nya dengan kecepatan 110 km/jam. “Rumi tenang! jangan cepat-cepat. Kita bisa berteduh dulu sebentar” pintaku panik. “Tanggung Di, gk apa apa tenang aja”. Tak lama setelah itu, dari arah berlawanan, datang sebuah bus dengan kecepatan yang tak kalah cepatnya dengan sepeda motor kami. “CIIITTT…DUUARR..BRUUK” kami bertabrakan. Aku terpelanting jauh dari sepeda motor kami. Entah mengapa tiba-tiba semua nya hitam buyar. Aku pun tidak sadarkan diri.

Kepalaku terasa sakit saatku buka kedua bola mataku. Aku tak tau dimana sekarang aku berada. Aku sangat heran karna entah mengapa mama sudah ada di sebelahku. “Ma? Aku sekarang ada dimana ?” tanyaku. “Kamu ada dirumas sakit na, tadi kamu kecelakaan waktu pulang dari acara mu sama Rumi”jawab mama. “Mamah ko tau aku kecelakaan?” tanyaku lagi. “Tadi pihak polisi telpon mamah pake handphone kamu” jawab mama lagi. Seketika aku ingat kepada Rumi “Rumi dimana ma?” mamah hanya diam tak menjawab. Aku pun memaksa mama untuk menjawab pertanyaan ku. Akhirnya ibu pun mau bercerita “Andi, Rumi telah meninggal dunia. Kepalanya terbentur  ke aspal, akibat ia tidak memakai helm, kepalanya bocor, untung saja nyawamu bisa terselamatakan ”. Kurasakan air mataku jatuh dari kedua kelopak mataku. Aku tak percaya, pertemuanku tadi adalah pertemuan terakhirku dengan Rumi.



Disinilah aku duduk termenung sendiri. Membacakan ayat-ayat surat Yasin agar sahabatku tenang disana. aku teringat saat-saat indah bersamanya. Canda, tawa, dan duka pernah kita lalui bersama. “Rum, sampai kapan pun kamu akan selalu jadi sahabat terbaikku. Aku percaya, suatu saat nanti kita akan bertemu kembali di keabadian. Aku dan kamu akan selalu bersama selamanya tanpa ada yang bisa memisahkan. Selamat jalan sahabatku. Kau akan selalu ada dihatiku.


2. Kamu dan Helm


Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi, disusul suara riuh dari dalam kelas. Setelah
selesai melakukan pembiasaan, para murid berhamburan keluar kelas. Seorang anak lelaki
berlari dari arah utara dan menghampiri temannya yang baru saja keluar kelas.
“Eh, Rendra mau pulang?”
“Iya nih, Cha. Mau bareng?” Rendra mengikuti Acha dan berjalan di sebalah kanan.
Acha berhenti berjalan lalu menatap Rendra, “Lho, memangnya kamu pulang pakai apa?”
Rendra, yang ditanya hanya tertawa.
“Jawab Ren! Bukan ketawa.” Acha menghentakkan kakinya dan terus mendesak Rendra
untuk menjawab pertanyaannya. “Oke, aku jawab. Aku pulang pakai motor.”
“Kok pakai motor sih? Kamu ‘kan masih kelas 9. Kamu udah ngelanggar lalu lintas! Nanti
kalau ada apa- apa gimana?”
“Ya ampun Acha, aku udah bisa ngendarain motor. Jadi tenang aja, aku pasti gak akan apaapa.”
Rendra memegang bahu Acha untuk meyakinkan Acha bahwa tidak akan terjadi apaapa.
“Gak apa- apa gimana? Punya SIM aja belum. Boro- boro SIM, KTP aja kamu belum
punya.” Raut wajah khawatir terpatri jelas di wajah Acha. Khawatir terjadi apa- apa pada
Rendra. Memang ini bukan pertama kalinya Acha mengetahui Rendra mengendarai motor,
hanya entah mengapa hatinya tidak tenang mengetahui hari ini Rendra akan pulang dengan
motornya.
Acha menghela napas berat, “Ya udah aku pulang, papa udah nunggu di depan
sekolah. Kamu hati- hati ya.”
Rendra menatap punggung Acha, sampai menghilang di ujung koridor sekolah. Dia
kenapa? Biasanya aku ngendarain motor dia biasa aja.
Rendra bingung, tadi pagi mamanya melarang dia untuk berangkat memakai motor.
Sekarang, Acha juga tidak suka Rendra mengendarai motor. “Masa bodo dengan
Spongebob,” gumam Rendra sembari mengacak rambutnya. Rendra berjalan menuju jalan
yang ada di belakang sekolah, tempatnya memarkirkan motornya.
Rendra menaiki motornya, tiba- tiba ada yang meninju bahunya. “AW!” Karena
kesakitan Rendra memegangi bahunya sembari meringis. Dia menengok ke kanan, dan
terlihatlah wajah konyol Devan yang sedang menatapnya dengan seringai khasnya. “Apaan
sih?” gerutu Rendra, tak lupa tatapan tajamnya.
“Mau kemana?” Pertanyaan bodoh itu terlontar dari bibir Devan yang masih setia dengan
serigainya. Punya temen aneh banget, apa salah aku Tuhan. “Ya pikir aja sendiri.” Rendra
mendengus, lalu menstater motornya. “Dih, santai aja bos. Cuma ya tau lah.” Rendra tau
maksud Devan apa. Dengan gaya tengil Devan menaiki motor Rendra dan menepuk bahu
Rendra, “Ke Perumahan Permata, Pak.”
“Dikira tukang ojek.” Rendra mulai menggas motornya untuk melaju. “Lho, ga pake helm
Ren?” “Deket ini, ga akan dirazia.” Sahut Rendra tenang.
“Bukan masalah jauh deket Ren, tapi keselamatan. Masih mau lulus UN nih.”
“Tenang aja, sama Rendra akan aman.” Rendra pun memacu kendaraannya lebih cepat.
TING! Suara notifikasi pesan handphone Rendra berbunyi. Ah paling operator pulsa, ga
penting. Saat sedang fokus memacu kecepatan lebih cepat, tiba- tiba ada mobil yang berjalan
dari arah timur. “Rendra! Itu mobil! Rem buruan!” Teriak Devan panik dan menepuk- nepuk
punggung Rendra. “Remnya blong, Dev! Ini gimana?” Rendra yang tak kalah panik dari
Devan menarik tuas rem dengan cepat. Sementara Devan membaca doa. Seketika Devan
berteriak, “Tabrakin motornya ke pohon di sebelah kiri!” Devan memukul- mukul punggung
Rendra dan menunjuk pohon di depan yang ada di sebelah kirinya. Rendra pun menabrakan
motornya ke pohon itu. BRAK! Suara hantaman keras terdengan seantero jalan tersebut.
Asap mesin mengepul dan menyebar liar ke segala arah.
UHUK! UHUK!
“Aduh Ren, pusing banget,” racau Devan tidak jelas sembari jalan sempoyongan. Sadar tak
ada sahutan Devan segera menoleh pada Rendra. Rendra yang sudah tergeletak tak berdaya
dengan darah yang tak henti mengucur di pelipisnya. Devan melihat ke sekitar, sepi. Jalan ini
sepi, tidak ada yang lewat. Lalu bagaimana dengan Rendra? Devan segera mengangkat
Rendra dengan lemah. Keadaan tubuh yang luka baret dimana- mana dan juga asmanya
kambuh. Devan mengangkat motor Rendra susah payah dan menstaternya, masa bodo jika
nanti motor itu meledak karena mesinnya sudah berasap. Devan mengangkat Rendra ke
motor dengan susah payah, lalu membawanya ke rumah sakit terdekat.
Devan mengangkat Devan dan berteriak panic memanggil suster. Suster datang
dengan tergopoh- gopoh sembari membawa brankar. Devan segera merebahkan Rendra ke
brankar. Setelah Rendra masuk UGD, Devan segera menelepon Acha dan Ibu Rendra.
Setelah menelepon Acha dan Ibu Rendra Devan menghempaskan dirinya ke kursi ruang
tuggu rumah sakit. Tak lama Acha datang dengan keadaan berantakan demekian juga Ibu
Rendra. Acha yang masih menggunakan seragam sekolah yang tadi dia pakai dan Ibu Rendra
yang masih menggunakan pakaian kantornya.
“Rendra kenapa Dev?” Tanya Ibu Rendra khawatir. “Tadi kami mau pulang, Bu. Tapi di
tengah jalan rem motor Rendra blong, karena tidak mau menabrak mobil di depan jadi
Rendra membelokan motornya ke pohon di sebelah kiri. Dan ya, kita menabrak pohon. Aku
baik- baik saja, tapi kepala Rendra luka karena tidak memakai helm.”
Mendengar penjelasan Devan, Acha meluruh ke lantai dan terisak. “Tadi aku sudah
punya firasat buruk, waktu dia bilang dia pulang pakai motor. Dan ternyata itu, benar.” Isak
tangis Acha pun semakin terdengar. Ibu Rendra yang melihat Acha, segera menolong Acha
untuk berdiri lagi. Lalu memapahnya ke kursi tunggu rumah sakit. Sama dengan keadaan
Acha, Ibu Rendra sangat kacau.
30 menit kemudian, pintu UGD terbuka dan munculah seorang dokter paruh baya.
“Keluarga Rendra Wijaya?” Tanya dokter itu sembari melihat ke arah Ibu Rendra. “Saya
ibunya, dok. Bagaimana keadaannya?”
“Untung saja cepat dibawa ke sini. Keadaannya mulai membaik. Benturan di kepalanya
membuatnya sering merasakan pusing. APa tadi dia tidak memakai helm?”
“Tadi Rendra dan saya tidak memakai helm, dok.”
“Lain kali, jangan memberikan izin mengendarai motor. Selain melanggar aturan lalu lintas,
juga membahayakan keselamatan. Rendra sudah terkena risikonya.” Jelas dokter itu. “Boleh
saya masuk?” Tanya Ibu Rendra. Dokter mengangguk lalu mereka bertiga memasuki
ruangan.
Seminggu kemudian Rendra diperbolehkan pulang dan menjalani terapi. Acha selalu
menemani Rendra untuk terapi.
“Ren, kamu udah cek handphone kamu?” Rendra mengernyit lalu mengecek handphonenya.
Ada satu pesan masuk dari Acha, pada tanggal kecelakaannya.
Rendra, jangan lupa pakai helm. Aku punya firasat buruk.
“Astaga, kenapa kemarin aku mengabaikan pesan dari kamu.” Rendra menghela napas berat.
“Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu.” Acha mengusap bahu Rendra menenangkan. Rendra
hanya memejamkan mata dan mengistirahatkan kepalanya di kepala kursi.
“Karena helm itu penting, Ren…” Acha menggumam pelan.
“Kamu dan helm.”
“Aku, Kamu dan helm.” Sahut Rendra tiba- tiba membuat Acha tersentak dan semburat
merah menjalar di pipinya. Seketika Rendra tertawa bahagia.
Sebulan kemudian…
“Ren, pulang naik apa?” Tanya Devan sembari berjalan ke gerbang sekolah. “Naik angkot.
Selain terhindar dari kecelakaan lalu lintas, kita juga harus ikut berpartisipasi menaiki
fasilitas kota. Buat apa ada angkot kalau kita menaiki motor? Hitung- hitung irit dan
mengurangi kemacetan.”
Devan berhenti berjalan dan melongo menatap Rendra, “Wow! Rendra nyalin kata- kata dari
mana?”
“Udah ah. Yuk pulang!” Rendra menarik lengan Devan dan segera menaiki angkot yang

berhenti di depan sekolah mereka.


3. Arisan Helm-sebuah revolusi mental dari Bandung

Bermula dari tugas untuk merekap kegiatan-kegiatan yang dilakukan di SDN Cihaurgeulis 1 Bandung, Dede Rohanih (52 tahun), guru yang sudah mengabdikan hidupnya selama 33 tahun di sekolah ini mengetahui bahwa di sekolahnya ada program tentang keselamatan berlalu lintas bagi siswa yang difasilitasi oleh Save the Children bersama SOMPO Holding melalui sebuah proyek yang dinamai dengan SELAMAT.

Walaupun Dede tidak terpilih sebagai guru yang terlibat langsung dalam program, namun karena kepedulian terhadap sekolah dan muridnya dia mulai mencermati dengan seksama aktivitas program.
Faktor keselamatan berkendara bagi siswa yang diantar-jemput dengan motor menjadi hal yang menarik perhatiannya.  Berdasarkan ketertarikannya ini, beliau mulai melakukan pengamatan kepada siswa SDN Cihaurgeulis 1. Sebagai wali kelas VI B SDN Ciharguelis, Dede memulai pengawasannya di kelas VI B yang diasuhnya tersebut.

Hasil yang mengejutkan ditemukan oleh Dede dari pengamatan yang dilakukannya. Mayoritas murid di kelasnya diantar-jemput dengan motor. Total 30 dari 41 siswa menggunakan motor. Dari 30 siswa yang diantar-jemput dengan motor hanya 2 anak yang selalu mengenakan helm. Kondisi ini membuat Dede tergerak untuk mengetahui lebih lanjut alasan mengapa banyak siswa tidak mengenakan helm.. Setelah berbincang lebih jauh dengan murid-muridnya. Dede mengetahui bahwa meski mayoritas mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah tetapi mereka tetap memiliki kemampuan untuk membeli helm.  Kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya helm bagi anak-anak mereka menjadi faktor utama mengapa murid-muridnya tidak mengenakan helm. Orang tua menganggap helm bukanlah prioritas pertama untuk dibeli.


Pantang menyerah  menenun asa

Menggugah kesadaran orangtua bukanlah hal mudah, namun tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan. Terinspirasi dari program “Menabung untuk Qurban’  yang sudah berlangsung beberapa tahun di sekolahnya. Dede mencari cara agar setiap muridnya yang dibonceng sepeda motor memiliki helm sendiri. Dede mengajak murid-muridnya menabung untuk membeli helm. Setiap harinya mereka menyisihkan Rp.2000 untuk ditabung. Gerakan ini ternyata tidak terlalu berhasil dan kurang disukai oleh murid-muridnya. Alasan utamanya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk menabung.

Namun Dede tidak lantas putus asa.  Didasari oleh naluri keibuan, sampailah dia pada pikiran untuk membuat “Arisan Helm”. Ide ini dia utarakan kepada murid-muridnya dan ternyata disambut dengan antusias, walau ada 5 siswa yang tidak mau turut serta.

Arisan yang dirancang ini memiliki target, satu hari-satu helm- satu siswa. Setelah memperkirakan harga sebuah helm ukuran anak-anak senilai Rp 60.000 per buah, maka jika  ada 25 anak yang ikut arisan dan per harinya masing-masing anak Rp 2.000, maka hanya terkumpul uang Rp 50.000 dan tentu saja masih kurang untuk membeli sebuah helm. Mencari akal menambah jumlah murid yang ikut arisan, Bu Dede juga menawarkan kepada siswa dari kelas lain dan akhirnya berhasil mengumpulkan 30 siswa untuk ikut arisan helm ini.

Namun ternyata masih ada masalah lain yang muncul yaitu ukuran helm yang berbeda-beda dan harga diluar perkiraan. Ada siswa yang cukup dengan ukuran helm seharga Rp.60.000,-, namun ada juga siswa yang membutuhkan helm dengan ukuran helm yang seharga Rp.75.000,-.Harga yang lebih mahal dari perkiraannya.

Kembali mengandalkan naluri seorang ibu, Dede mensiasati kekurangan uang ini dengan tidak membeli helm per buah per hari, melainkan membeli dalam jumlah banyak. Jika belanja dalam jumlah banyak, maka harga per buah bisa dikurangi dan juga menghemat biaya transportasi untuk membeli. Selain dengan cara ini, Ibu Dede juga menjelaskan kepada penjual helm, bahwa helm-helm yang dibelinya ini bukan untuk dijual lagi atau dipakai sendiri, tetapi untuk murid-muridnya yang mengikuti arisan agar bisa memiliki helm. Kedua cara ini telah berhasil mengatasi kekurangan uang untuk membeli helm dengan ukuran yang dibutuhkan murid-muridnya.

Oase gotong royong mencari solusi

Dimulai dari tanggal 2 Oktober 2015, arisan helm ini hingga tanggal 4 November 2015 sudah bisa memberikan 16 buah helm kepada 16 orang siswa. Siswa yang mendapatkan giliran menerima helm ditentukan dengan cara diundi. Anak-anak nampak senang mengikuti kegiatan ini karena seperti menerima hadiah, terlebih lagi ketika pembagian tahap I dilakukan pada saat upacara bendera.

Gagasan arisan helm ini, juga Dede sampaikan kepada orang tua siswa pada saat pertemuan komite kelas dan mendapatkan sambutan positif. Beberapa orang tua dapat memahami mengapa anaknya dalam satu bulan terakhir ini meminta uang jajan agak lebih banyak, namun yang terpenting adalah orangtua menyadari pentingnya helm untuk keselamatan berlalu lintas.

Arisan helm ini juga telah menggugah hati siswa yang lain untuk juga membeli helm, walaupun tidak diantar jemput dari dan ke sekolah menggunakan sepeda motor, namun mereka akan mengenakan helm bila bepergian dengan membonceng sepeda motor. Selain itu, muncul juga minat dari guru-guru di SDN Cihaurgeulis untuk mengikuti arisan bila akan dilakukan arisan tahap berikutnya.

Hal lain yang tidak kalah menariknya dari apa yang sudah dilakukan oleh Dede ini adalah terbentuknya Tim Monitoring Helm. Beliau mengorganisir siswa-siswa kelas IV yang sudah mendapatkan pelatihan dari program Save the Children untuk melakukan pemantauan kepada teman-temannya yang datang dan pulang sekolah dengan membonceng sepeda motor tetapi tidak mengenakan helm. Mereka melakukan pencatatan per hari dan melaporkan kepada Dede. dia meminta tim ini untuk tidak hanya mencatat jumlahnya, tetapi juga untuk mengetahui alasannya mengapa mereka tidak mengenakan helm. Diketahui, dua alasan utamanya adalah karena lupa dan malas karena dianggap merepotkan.

Arisan Helm dan Tim Monitoring Helm yang diprakarsai oleh Dede ini, mendapatkan dukungan besar dari Ibu Kepala Sekolah SDN Cihaurgeulis dan berharap kegiatan ini dapat menginspirasi banyak guru, siswa atau bahkan bisa menginspirasi sekolah-sekolah lain yang menghadapi tantangan serupa.

Semoga akan muncul Dede-Dede lainnya.

Di Indonesia ribuan anak dan remaja meninggal dan mengalami luka berat karena kecelakaan lalu lintas, kebanyakan dari mereka adalah pengguna sepeda motor. Data kementerian Perhubungan yang disadur dari Buku Materi Sosialisasi Keselamatan Berlalu Lintas (2012) menyatakan bahwa 8 dari 10 kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor. Sementara 1 dari 3 pengguna sepeda motor yang terluka mengalami cidera kepala-gegar otak. Sebagian dari yang mengalami cidera kepala berat mengakibatkan kerusakan  otak yang permanen dan bahkan kematian.
Penggunaan helm terutama untuk anak menjadi upaya sederhana namun penting untuk melindungi anak dari cidera yang lebih parah ketika mengalami kecelakaan sepeda motor di jalan.

Arisan helm yang dilakukan di SDN Cihaurgeulis mungkin terbilang kecil dan sederhana, hanya dimulai dengan 30 siswa di satu sekolah, namun diharapkan dampaknya bisa meluas. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, sudah ada 16 siswa yang memiliki helm dari swadaya mereka sendiri. Mungkin pada saat kita membaca tulisan ini sudah ada ratusan siswa lainnya yang juga memiliki. 

No comments:

Post a Comment